Menjelajahi Lombok, tak akan cukup dengan hanya mengagumi alamnya
yang indah saja. Selain menyimpan potensi wisata alam yang memang keren,
budaya yang ada di Pulau Lombok juga wajib dan menarik buat ditelusuri.
Sebagai warga Lombok, saya pun sebenarnya tidak terlalu mengenal
budaya Suku Sasak dengan dekat, karena di wilayah perkotaan Mataram,
kehidupannya sudah “kekotaan”, beda dibandingkan dengan di desa yang
masih memegang adat dengan kentalnya. Sampai akhirnya saya berkesempatan
mengunjungi Desa Sade.
Desa Sade yang berada di Lombok Tengah, merupakan desa adat yang
keasliannya masih terjaga, walau saat ini memang lebih difungsikan
sebagai objek wisata budaya. Berangkat dari Kota Mataram, saya menempuh
perjalanan selama 1 jam, menggunakan kendaraan pribadi, karena untuk
menuju ke lokasi tidak ada kendaraan umum.
Desa Adat Sade, cukup mudah dijangkau, selain akses jalan menuju
kesana sudah sangat bagus, desa adat ini letaknya di pinggir jalan raya
utama di Kabupaten Lombok Tengah, satu jalur menuju ke Pantai Kuta.
Ketika sudah sampai, plang “Welcome to Sade” menyambut persis dipinggir
jalan, didekat parkiran kendaraan.
Saya kemudian bergegas menuju gerbang masuk desa, di gerbang masuk
desa, tampak petugas/ penduduk desa menyambut di meja resepsionis. Saya
pun mengisikan nama saya di daftar buku pengunjung, sekaligus membayar
donasi bagi desa, jumlah donasi yang bisa diberikan seikhlasnya kok,
nantinya donasi ini digunakan demi perawatan dan pengembangan desa adat.
Setelah proses registrasi selesai, saya pun disambut oleh guide lokal
yang ada di desa tersebut. Setelah memperkenalkan diri, guide pun
bersiap mengajak saya berkeliling menikmati desa adat ini. Guide yang
ada di desa ini, merupakan warga lokal yang telah dilatih untuk menjadi
guide, mereka pun tidak mematok bayaran, seikhlasnya saja memberikan tip
bagi mereka.
Sambil berjalan pelan, di kiri dan kanan saya tampak rumah – rumah
sederhana, beratap rumbia/ alang – alang dengan lantai tanah dan tembok
yang terbuat dari anyaman bambu. Oleh guide, saya dijelaskan bahwa
begitulah bentuk rumah adat yang ada di desa tersebut, lantai rumah
tersebut terbuat dari tanah liat, dan dengan campuran kotoran kerbau !
jangan kaget, walaupun menggunakan campuran kotoran kerbau, rumahnya
sama sekali tidak berbau. Kotoran kerbau digunakan sebagai plester alami
agar lantai tersebut semakin kuat, bahkan mereka juga mengepel lantai
menggunakan kotoran kerbau yang masih hangat, selain membuat lantai
semakin kuat, keuntungan lainnya, rumah menjadi bebas nyamuk. Selain
lantai yang unik, keunikan lainnya, rumah tersebut juga tidak
menggunakan paku sama sekali untuk memperkuat atapnya, rumah tersebut
menggunakan pasak kayu dan bambu sebagai pengganti paku.
Saya pun dipersilahkan masuk ke salah satu rumah yang ada untuk
melihat secara langsung bagaimana suasana di dalam. Pintu masuknya tidak
terlalu besar, bahkan cukup kecil dan tidak terlalu tinggi. Ternyata,
pintu yang tidak terlalu tinggi dimaksudkan sebagai perlambang, bahwa
setiap orang yang bertamu rumah tersebut, wajib menghormati pemilik
rumah. Didalam rumah, tampak suasana sangat sederhana, hanya ada 2
ruangan utama, satu ruangan dibagian depan, satu lagi dibelakang,
posisinya agak tinggi dengan undakan kecil untuk naik keatas.
Ruangan didepan difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga,
memasak dan makan bersama, oleh karena itu didalam bisa ditemui jangkih
(kompor tradisional yang masih menggunakan bahan bakar kayu) dengan
beberapa tikar. Luasnya memang lebih luas daripada ruangan kedua.
Ruangan kedua difungsikan sebagai kamar tidur, tampak dipan sederhana
dan lemari kecil sebagai perabotan di dalamnya. Memang, kesederhanaan
menjadi pelajaran utama yang dapat kita ambil dari suasana rumah ini.
Kembali menyusuri desa, tampak juga rumah dengan ukuran yang lebih
kecil, ternyata rumah tersebut difungsikan sebagai tempat bagi mereka
yang baru saja menikah, di dekat rumah tersebut, terdapat lumbung padi,
bangunan berbentuk bale – bale dengan ruangan tempat menyimpan hasil
panen, seperti padi, diatasnya.
Saya pun kembali menyusuri jalanan kecil desa bersama guide, makin ke
dalam, saya melihat semakin banyak kain – kain dengan berbagai macam
corak yang dipajang. Menurut cerita guide, ternyata semua wanita disini
yang sudah dewasa, wajib bisa menenun, kalau tidak bisa menenun, mereka
belum boleh menikah ! kain – kain tenunan tersebut memiliki corak dan
warna yang sangat menarik, tersedia mulai dari ukuran kecil sebagai ikat
kepala, hingga ukuran besar yang digunakan sebagai kain untuk sholat
atau bahan pakaian.
Bahan yang digunakan semuanya adalah bahan – bahan alami, mulai dari
benang yang dipintal sendiri hingga pewarna yang digunakan adalah
perwarna alami yang bersumber dari dedaunan ataupun semacam kulit kayu.
Proses pembuatannya pun menggunakan alat pintal tradisional, sangat unik
dan otentik ! terkadang untuk membuat satu kain dengan ukuran yang agak
besar, dibutuhkan waktu hingga 1 bulan, maka tidak heran nilai jual
kain tersebut bisa sangat tinggi.
Selain kain – kain tenun, masyarakat desa jjuga menjual beragam
gelang dan gantungan kunci yang mereka buat sendiri. Warga desa ini
sangat kreatif dalam mendapatkan pemasukan, terbukti banyak wisatawan
yang tertarik untuk membeli kerajinan yang mereka jajakan. Selain
berjualan, mereka juga berinteraksi dengan wisatawan, semisal
mempersilakan pengunjung untuk mencoba menenun atau berfoto dengan latar
alat tenun .
Hingga tak terasa, perjalanan saya sudah berakhir, saya pun kembali
tiba di gerbang masuk desa. Setelah berpamitan dengan guide yang
menemani dan memberikan tip seikhlasnya, saya pun kembali ke Mataram.
Sungguh perjalanan kali ini membuka mata saya, bahwa selain alamnya yang
beragam dan indah, kearifan dan kesederhanaan budaya lokalnya patut
untuk dipelajari.
infolombok.net
0 Response to "Menyusuri Jejak Budaya Di Desa Sade"
Post a Comment